Minggu, 04 Juni 2017

BERJUANG MENELITI OBAT TUBERCULOSIS



"HANYA KAMI SENDIRI YANG MELAKUKANNYA", PERJUANGAN MENELITI OBAT TB


TB membunuh orang lebih banyak daripada HIV, tetapi obat untuk penyakit ini hampir tidak membaik selama 50 tahun. Inilah waktu yang mendesak untuk berinovasi.



Dr Ana Cavalheiro dengan tim MSF di Machiton Hospital di Tajikistan sebagai perawat setempat menjelaskan bagaimana menggunakan obat TB baru. Foto: MSF

Empat tahun yang lalu, Médecins Sans Frontières (MSF) memutuskan untuk mensponsori dan menjalankan percobaan klinis tuberkulosisnya sendiri. Tujuannya adalah untuk menemukan rejimen pengobatan baru untuk TB yang resistan terhadap obat (TB RO) yang secara umum lebih baik daripada yang tersedia saat ini.

Sebagai organisasi yang khusus memberikan perawatan kesehatan darurat jangka pendek, hal ini merupakan langkah yang berani dan baru untuk diambil. Tapi hal ini adalah keputusan yang datang dari rasa frustrasi, kemarahan dan ketidaksabaran kami atas nama lebih dari 20.000 orang penderita TB yang kami obati setiap tahun. Kami terdorong untuk mencari perawatan yang lebih baik, karena terlalu sedikit perusahaan farmasi, organisasi atau universitas yang benar-benar melakukannya.

Setiap hari 4.900 orang meninggal karena TB, penyakit menular yang menyerang paru-paru dan menyebabkan demam, batuk, dan membuat sulit bernafas. Ini adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia dan sekarang membunuh lebih banyak orang daripada HIV.

Namun penyakitnya tidak sampai menerima perhatian yang pantas. Perawatan, pengobatan dan diagnostik tetap sangat kekurangan dana. Terlepas dari kenyataan bahwa jumlah orang baru yang didiagnosis dengan TB setiap tahun menurun, jumlah keseluruhan orang yang hidup dengan TB berada pada posisi tertinggi sepanjang masa. Hal ini disebabkan kegagalan menyembuhkan orang yang telah hidup dengan penyakit ini.

Diperkirakan dua dari setiap lima orang sakit TB dibiarkan tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Obat-obatan untuk mengobati TB hampir tidak membaik dalam 50 tahun.

Diagnosa dan obat-obatan yang tidak memadai membuat kompleksitas dan tingkat keparahan penyakit semakin memburuk. TB perlu diobati dengan berbagai antibiotik yang berbeda, namun obat ada telah digunakan selama beberapa dekade. Akibatnya jumlah kasus TB menjadi resisten obat yang semakin mengkhawatirkan. Bertambahnya jumlah pasien yang perawatan enam bulan mereka dinyatakan belum berhasil dan masih memiliki TB.

John, Penderita TB RO bermain dengan troli obat di samping ibunya Elizabeth, juga kasus MDR-TB, pada Médecins Sans Frontières-run klinik di Nairobi pada tahun 2015. Foto: Tony Karumba / AFP / Getty.

 Orang yang didiagnosis dengan TB RO menghadapi pengobatan dua tahun yang melelahkan. Selama waktu itu mereka harus menelan lebih dari 10.000 pil dan mendapat suntikan sehari-hari yang menyakitkan. Efek sampingnya sering kali menjadikannya tidak sanggup. Misalnya, mual secara konstan, sakit sendi, tuli permanen dan bahkan psikologis. Banyak pasien harus menghabiskan waktu lama di rumah sakit, tidak dapat mencari nafkah dan terputus dari teman dan keluarga serta semua hal yang berkaitan dengan kehidupan normal.

Pada akhir tahun kedua, hanya setengah dari orang-orang ini yang dinyatakan berhasil.

Salah satu alasan utama kurangnya investasi TB adalah kebanyakan orang dengan penyakit ini tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Imbasnya, hanya ada sedikit insentif finansial bagi perusahaan farmasi untuk mengembangkan atau meneliti obat baru. Hal ini juga karena perusahaan obat mendapatkan keuntungan finansial dengan mematenkan obat. Hak paten ini membatasi bagaimana obat tersebut dapat digunakan. Karena sejumlah obat diperlukan untuk membunuh TB, sulit untuk meneliti obat baru jika sudah dikembangkan oleh perusahaan lain yang telah mematenkan sendiri obatnya. Akibatnya, hanya dua obat baru yang dikembangkan dalam 50 tahun terakhir yang tersisa dan berada di luar jangkauan kebanyakan pasien. Tidak ada cukup petunjuk atau penelitian untuk merekomendasikan penggunaannya secara luas dan juga tidak ada keterangan bagaimana menggunakannya sebagai bagian dari rejimen baru.

Sebagai organisasi dokter, perawat dan staf medis lainnya, kami merasa sangat frustrasi karena ribuan pasien kami terus menderita perawatan yang panjang dan beracun dan gagal ini. Akhirnya cukup sudah, kami memutuskan untuk melakukan sesuatu sendiri untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik untuk pasien kami.

Kami ingin menjalankan penelitian secara tulus, dengan fokus pada orang-orang yang paling membutuhkan perawatan yang lebih baik, di mana hasilnya akan berdampak nyata pada kehidupan masyarakat. Kami memutuskan untuk mencoba kombinasi obat-obatan yang hanya perlu dilakukan selama enam bulan, tanpa suntikan yang menyakitkan setiap hari, pil lebih sedikit, yang diharapkan memiliki efek samping yang lebih ringan dan berpotensi lebih efektif dalam menyembuhkan semua bentuk TB RO.




Kementerian kesehatan Uzbekistan berada di pintu masuk bangsal yang menangani uji klinis obat TB, TB PRACTECAL. Foto: Alpamis Babaniyazov / MSF


Setelah bertahun-tahun bekerja keras, TB PRACTECAL dimulai pada akhir Januari 2017 di Uzbekistan. Ini adalah percobaan klinis penuh fase III dengan empat lokasi di Uzbekistan, Belarus dan Afrika Selatan. 630 peserta akan mengambil kombinasi dua obat anti-TB baru (bedaquiline dan pretomanid) dengan tiga obat lain yang ada (linezolid, clofazimine dan moxifloxacin) pada kelompok kontrol.

Ketika pasien pertama mengambil pil pertama percobaan ini terasa seperti kejadian sejarah yang menarik dan penting. Tapi kenyataannya kita masih punya jalan yang panjang.

Hasil percobaan pertama diperkirakan dalam dua tahun dan hasil akhir dalam empat tahun. Jika berhasil, kombinasi pengobatan ini dapat direkomendasikan untuk digunakan secara luas oleh WHO dan diluncurkan di negara-negara di seluruh dunia.

Tetapi bahkan jika percobaan ini berhasil, meski kami berharap hal itu dapat berdampak nyata pada kehidupan beberapa orang dengan TB yang resistan terhadap obat, ini hanya akan menjadi langkah kecil dalam upaya mengatasi epidemi global ini.

Awalnya, kita akan memerlukan jalur obat baru untuk menggantikan yang lebih tua. Hal ini karena obat lama menjadi kurang efektif. MSF juga telah memprakarsai Proyek 3P yang bertujuan untuk menciptakan pendekatan baru yang lebih kolaboratif dalam mendanai dan mengembangkan obat TB, karena model yang ada jelas tidak berfungsi.

Tentu saja, MSF tidak bisa mengatasi krisis TB sendirian. Kami juga membutuhkan alat diagnostik yang lebih baik yang juga dapat diakses oleh mereka yang paling membutuhkan. Kami memerlukan cara yang lebih baik untuk mengembangkan obat individual dan cara yang lebih cepat dalam menggabungkannya ke dalam rejimen. Kami membutuhkan kombinasi yang sesuai untuk anak-anak. Dan semua pengobatan itu haruslah terjangkau.

Dengan ribuan orang yang meninggal setiap hari akibat TB , perlu ada respon global terhadap krisis global ini.

Dr Bern-Thomas Nyang’wa adalah seorang spesialis TB di Médecins Sans Frontières/Doctors Without Borders (MSF).

Artikel dialihbahasakan dari :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar