Selasa, 22 Agustus 2017

CATATAN TENTANG PENGALAMAN PASIEN TB

Oleh : Dr. Madhukar Pai


Nandita Venkatesan (kiri) dan Deepti Chavan (kanan), TB Survivors dan Advokat pasien dari India, menghabiskan dua minggu di McGill University, Montreal, dan berbicara dalam tiga kursus di Summer Institute in Infectious Diseases & Global Health.

Sebagai seorang peneliti Tuberkulosis (TB), aku (red : Dr. Madhukar Pai) sudah menyimpulkan hasil yang menunjukan bahwa kualitas perawatan TB perlu banyak diperhatikan , terutama di negara-negara dengan resiko TB tinggi misal India. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien seringnya terdiagnosa sangat terlambat dan dokter jarang memberikan tes TB (atau pasien direkomendasikan untuk melakukan tes), bahkan ketika pasien menunjukan gejala lama. Kualitas perawatan yang buruk adalahalasan mengapa TB bertanggungjawab lebih banyak nyawa daripadamalaria dan HIV kombinasi dan menduduki peringkat 10 besarkematian didunia.

Tetapi memahami pengetahuan tidak mampu menahanku merinding, saat mendengar cerita dari 2 gadis pemberani yang selamat dari TB tentang bagaimana mengeluarkan isi perutnya dan melawan semua rintangan. Awal bulan ini, acara dibawakan oleh Deepti Chavan dan Nandita Venkatesan dari India pada McGill Summer Institute di Penyakit Infeksi danKesehatan Global. Kami membukakan materi kemajuan diagnosa TB dengan menanyakan Nandita dan Deepti untuk mengatakan mengapa diagnosis yang tepat sangat penting bagi pasien. Dan seperti apa efek yang telah dia alami.

Deepti Chavan, telah memenangkan pertarungannya melawanTB. Dia didiagnosis TB ketika umur 16 tahun, setelah beberapa minggu mengalami gejalanya. Di semua keadaannya, dia menahan 6 tahun terapi obat yang beracun, termasuk 400 suntikan yang menyakitkan dan sebagian besar paru-paru yang terinfeksi harus dioperasi agar kembali pulih dari TB RO yang parah.

Selama pembukaan acara yang menyentuh, Deepti berbicara tentang bagaimana dia periksa pada beberapa dokter dan tentang bagaimana sebagian besar dokter mengubah antibiotiknya tanpa melakukan tes kinerja obat. “Saya benar-benar ingin tahu jika obat TB yang saya minum itu manjur atau tidak” katanya. Praktisnya, melakukan tes resistensi obat pada semua pasien TB untuk memastikan pengobatan itu adalah jalan yang efektif. Hal itu benar-benar diperlukan, kata Deepti.” Kami tidak bisa membahayakan kehidupan pasien TB dengan diagnosis terlambat dan memberinya perawatan yang tidak tepat,” dia berpendapat “Mungkin jika dokterku sudah melakukan tes resistensi obat lebih cepat, paru-paruku seharusnya bisa diselamatkan

Nandita Venkatesan menceritakan kembali perjuangannya yang dimulai sejak umur 17tahun Ketika dia didiagnosis memiliki TB perut dan memulai pengobatan setelah gelajanya berkembang selama 3 bulan, itu pun harus berulang kembali pada umur 23 tahun. Pada waktu itu, dia perlu dioperasi dua kali untuk bertahan hidup.

Bagian yang tidak menyenangkan dari semuanya itu setelah ulang tahun yang ke-24 ketika bangun tidur dan benar-benar tidak mendengar apapun. Nandita kehilangan pendengarannya karena efek Kanamycin, obat TB tingkatan kedua yang harus diminum oleh pasien TB RO. Di TEDx talk dengan judul “Dari suara menjadi Sunyi- Pelajaran dari perjalanan menujukehilangan pendengaran”, Nandita memberikan kami kesempatan mengintip duniamya yang sunyi, tantangan, dan doa dalam menghadapi masyarakat yang tidak ramah pada orang-orang dengan disabilitas, pertimbangannya untuk mendapatkan kembali pekerjaannya dan bagaimana dia memulai menarilagi.

Dalam pidatonya di MacGill, Nandita menantang kami (red : peneliti) untuk kembali dengan diagnosis yang lebih baik untuk TB extra paru. “Sebuah hasil tes untuk meneliti resistensi obat membutuhkan waktu 6 minggu Tetapi waktu tersebut sudah cukup untuk mebolakbalikkan kehidupan pasien”katanya. Dia juga sangat memohon untuk mengembangkan obat TB menjadi lebih baik dengan efek samping yang lebih sedikit. Dia menanyakan mengapa semua pasien pengobatan tingkat 2 tidak mendapatkan tes pendengaran secara rutin untuk menutupi kemungkinan kehilangan pendengaran? Pasien tidak hanya memerlukan diagnosis yang tepat, tetapi juga membutuhkan tindak lanjut yang memadai dan monitoring selama pengobatan yang panjang, katanya

Perempuan di india di kucilkan ketika mereka memiliki TB. Tetapi hal ini tidak menghentikan perjuangan Deepti dan Nandita. Mereka adalah advokat yang mumpuni sekarang, berjuang melawan TB di India dan terlibat dengan ilmuwan dan pemerintah untuk memperbaiki keadaan pasien di negaranya. Mereka terus menerus mengingatkan kami bahwa perang melawan TB tidak dapat dimenangkan tanpa memberdayakan pasien. Faktanya, pekerjaan mereka tak ternilai dalam meningkatkan kesadaran mengenai efek samping penyakit ini dan mengenai perlunya kami untuk berinvestasi pada alat yang lebih baik. Program TB yang kurang didanai secara serius akan sangat mengekang semangat dan kekuatan para juara TB ini.


Setelah Summer Institute kami berakhir, jelas untuk satu dan semua bahwa kontribusi Deepti dan Nandita menjadi sorotan institusi tahun ini. Mereka berbicara kenyataan, mengambil hati kami, dan mengingatkan kami bahwa kami perlu membuat sebuah kesempatan untuk pasien dalam konferensi ilmu pengetahuan kelas, dan even kami. Setelah semuanya, jika kita peduli bahwa pengetahuan kami akan membuat perbedaan , maka kita harus benar-benar mendengarkan mereka yang sangat membutuhkan kemajuan pengetahuan ini. Terimakasih Nandita dan Deepti untuk 2 minggu yang menginspirasi. More power to you!


Rabu, 02 Agustus 2017

TUBERKULOSIS YANG SUSAH DILUPAKAN DUNIA


"Bangkit kembalinya wabah TB merupakan masalah bagi negara yang sedang berkembang dan negara maju."


Komunitas International akan memerlukan tanggapan dan kerjasama yang lebih luasdan menyeluruh terhadap tuberkulosis jika ingin menghentikan penyakit kuno ini. “kata James Trauer.

Tuberkulosis (TB)  disebut sebagai ancaman menular di dunia, menjadi penyebab atas lebih banyaknya kematian setiap tahunnya daripada organisme lain. Meskipun demikian, hal ini sering terlupakan dengan beban belanja negara yang rendah, dimana riwayatnya jauh lebih rendah daripada beberapa penyakit menular utama lainnya.

Selama beberapa tahun, TB diperkirakan menurun dan pun statistik resmi melaporkan penurunan beban penyakit. Bagaimanapun, justru selama 3 tahun terakhir setiap tahunnya, total anggaran belanja global pada TB lebih besar dari tahun sebelumnya. Tidak dapat disangkal, mungkin hal ini berhubungan dengan peningkatan diagnosis, pengawasan dan teknik untuk menaksir jumlah kasus, tetapi perasaan bahwa bangkit kembalinya penyakit kuno ini akan sulit untuk dihindari.

Beberapa faktor seperti meningkatnya resistensi obat, urbanisasi dan tingginya HIV dapat menjadi pengaruh terhadap masalah ini, sementara peningkatan jumlah pengungsi dan orang terlantar secara global berarti bahwa penyakit tersebut tidak dapat terus dibiarkan dengan perhatian yang sangat sedikit oleh negara maju

Begitu pula dengan total beban TB yang diabaikan, umumnya prevalensi resistensi obat mungkin juga tidak diakui. Meskipun hanya sebagian kecil dari semua kasus TB dunia dilaporkan sebagai sangat resisten obat (Resisten Banyak Obat (Multi drug resistant /MDR), tes MDR-TB biasanya hanya ditujukan untuk pasien yang berpeluang besar seperti rentan dengan resistensi obat.

 Meskipun angka yang dilaporkan sangat rendah pada pasien MDR-TB yang sebelumnya belum pernah mendapatkan perawatan TB, tapi mungkin sekali terdapat kesalahan diagnosis seperti pasien saat pertamakali datang pengobatan, sehingga menjadikan angka ini menjadi lebih rendah dari yang sebenarnya.

Meskipun banyaknya masalah resistensi obat, WHO urung memasukkan bakteri TB dalam daftar 12 bakteri resisten antibuiotik prioritas global belakangan ini. Dasar kebenarannya adalah bahwa dulu TB sudah pernah benar-benar prioritas utama. Dengan sebuah patogen penting untuk merebut pengakuan, kehilangan kesempatan ini benar-benar menyebabkan frustasi pada seluruh organisasi yang terlibat memerangi TB.

Mengingat beban peynakit yang sangat besar dan tantangan tambahan yag dihadapi oleh mereka yang melawan nya, seperti dana yang tidak mencukupi dan resistensi obat, sebuah sambutan yang meluas dengan jelas akan menjadi perkembangan yang menggembirakan.

Dalam konteks ini, strategi End TB WHO menyerukan pengurangan yang pada beban TB dan sebuah akhir dari kerugian bencana yang dipikul oleh keluarga yang terinfeksi. Strategi semacam itu adalah sebuah seruan ambisius terahadap perang dan apa saja yang benar-benar dibutuhkan jika ingin merealisasikan visi dunia bebas TB.

Namun, saat pengendalian terhadap tiga penyakit menular yang besar (HIV, malaria, TB) adalah satu dari delapan tujuan Pembangunan Millenium pra-2015, kesehatan, dan kesejahteraaan secara keseluruhan hanya merupakan satu dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pasca-2015. Sementara itu, negara-negara berpenghasilan rendah semakin berjuang melawan epidemi ganda baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular.

Bahkan saat sudah menggunakan target baru yang ambisius ini, profil TB jika dibandingkan dengan prioritas kesehatan dan pembangunan yang lain tampaknya telah turun. Kebetulan hal ini bukanlah permainan zero-sum (red=monopoli), ketika epidemi TB selalu berkaitan erat dengan kemiskinan dan marginalisasi, sementara penguatan sistem kesehatan secara luas menambah campur tangan pengobatan TB.

Dan juga mencapai perkembangan sosioekonomi yang lebih luas, kunci utama kesuksesan kami dalam mencapai tujuan paska-2015 untuk TB akan menjadi kerjasama tingkat internasional. Karena jumlah kasus bervariasi lebih dari 200 kali lipat antara beban terendah (misalnya USA) dan beban tertinggi (misalnya Afrika Selatan) pengendalian global hanya akan dicapai melalui penurunan penyakit yang drastis di negara yang berpenghasilan rendah dan beban penyakit yang tinggi.

Negara-negara kaya dengan beban TB rendah mungkin memilih untuk menangani TB hanya sebagai salah satu masalah migrasi atau masalah hak asasi manusia. Keseimbangan ini mungkin akan sulit didapat.

Mengingat bahwa sebagian besar kasus di negara-negara kaya terjadi pada mereka yang lahir di luar negara mereka, penurunan yang ditargetkan dapat dicapai dengan menemukan dan mengobati infeksi inaktif pada imigran, tetapi hanya untuk negara-negara tertentu.

Hal ini juga memungkinkan untuk membuat uraian ekonomi untuk meningkatkan kontrol dengan menunjukkan jumlah korban ekonomi yang sangat besar bahwa TB menyebabkan tingginya tingkat kematian pada orang dewasa yang sebelumnya sehat dan produktif. Namun, saat ini TB membutuhkan setidaknya 6 bulan pengobatan , dukungan yang konsisten dari layanan kesehatan yang kuat, bahkan jenis TB RO akan memerlukan perawatan tertentu dan pengobatan yang lebih mahal.

Singkatnya, tidak hanya khusus fokus pada screening migrasi tetapi juga terhadap pertimbangan yang tanpa kompromi pada anggaran ekonomi untuk mencapai tujuan mengakhiri TB.

Sebagai gantinya, mengadopsi dari Universal Health Coverage secara menyeluruh yang mencakup pendekatan baik pencegahan dan pengobatan, bersamaan dengan perlindungan dalam biaya keuangan akan menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai visi End TB Strategy. Pendekatan ini harus didukung melalui dialog tentang menghargai yang selamat dan memberikan pengobatan secara efektif (bagi yang sakit) merupakan sebuah hak asasi manusia, bahkan untuk pasien yang paling susah dijangkau sekali pun.

Artikel dialihbahasakan dari :The world can’tafford to forget tuberculosis